Nadiem Bicara c hingga Sikap Guru Besar Kedokteran

Transformasi Digital di Dunia Pendidikan Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim terus mendorong transformasi digital dalam sistem pendidikan Indonesia. Salah satu upaya yang paling menonjol adalah pengadaan perangkat Chromebook untuk sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran berbasis teknologi serta mempersempit kesenjangan digital di berbagai wilayah, termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Namun, dalam perjalanannya, langkah ini tak lepas dari kontroversi dan kritik dari sejumlah pihak, termasuk akademisi, guru besar, hingga pemerhati pendidikan. Pada saat yang sama, respons terhadap sikap para guru besar, terutama di bidang kedokteran, yang ikut bersuara terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi juga menjadi sorotan publik.

Artikel ini akan mengulas secara komprehensif pandangan Nadiem Makarim terkait penggunaan Chromebook dalam dunia pendidikan, respons dan tantangan yang muncul, serta bagaimana posisi para guru besar, khususnya di ranah kedokteran, dalam menanggapi arah kebijakan pendidikan saat ini.
Chromebook: Solusi atau Masalah Baru?
Latar Belakang Pengadaan Chromebook
Sejak pandemi COVID-19 melanda, pembelajaran daring menjadi kebutuhan mendesak. Dalam konteks ini, banyak sekolah di Indonesia tidak memiliki infrastruktur dan perangkat teknologi yang memadai. Oleh sebab itu, Kemendikbudristek meluncurkan program pengadaan Chromebook—laptop berbasis sistem operasi Chrome OS milik Google—sebagai solusi untuk mendukung pembelajaran daring dan luring berbasis digital.
Menurut Nadiem, pemilihan Chromebook bukan tanpa alasan. Perangkat ini dinilai lebih ringan, cepat, aman, dan mudah dikelola, terutama dalam skala pendidikan. Selain itu, sistem operasi Chromebook sangat cocok untuk mengakses Google Workspace for Education yang telah digunakan luas oleh sekolah-sekolah.

“Chromebook adalah pilihan tepat bagi sekolah karena efisien, mudah digunakan, dan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran digital saat ini,” ujar Nadiem dalam berbagai kesempatan.
Kritik Terhadap Pengadaan Chromebook
Kebijakan ini mendapat kritik dari berbagai pihak. Beberapa kritik utama mencakup:
- Tingkat Ketergantungan pada Google
Chromebook mengandalkan akun Google untuk bisa digunakan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sistem pendidikan Indonesia menjadi terlalu bergantung pada korporasi teknologi asing. - Ketidaksesuaian dengan Kondisi di Lapangan
Banyak sekolah di daerah 3T belum memiliki koneksi internet stabil atau bahkan belum teraliri listrik. Dalam kondisi ini, keberadaan Chromebook menjadi tidak efektif. - Penggunaan Anggaran Negara
Pengadaan perangkat teknologi dalam jumlah besar menggunakan anggaran yang tidak sedikit. Beberapa pengamat mempertanyakan efektivitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran ini, apalagi jika perangkat tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal. - Masalah Pelatihan Guru
Tak semua guru siap menggunakan perangkat berbasis teknologi canggih. Tanpa pelatihan yang memadai, Chromebook bisa menjadi alat yang tidak berguna.
Pembelaan dari Nadiem Makarim
Menanggapi berbagai kritik tersebut, Nadiem menyampaikan bahwa pengadaan Chromebook adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk mendigitalisasi sistem pendidikan.
“Transformasi digital tidak bisa dilakukan instan. Chromebook adalah langkah awal. Kami menyadari tantangannya, tapi perubahan harus dimulai,” tegasnya.
Nadiem juga menekankan pentingnya penguatan kapasitas guru melalui pelatihan yang sudah dan akan terus dilakukan oleh Kemendikbudristek. Program seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM) juga dirancang untuk mendukung para guru agar mampu mengintegrasikan teknologi dalam kegiatan belajar mengajar.
Guru Besar Kedokteran dan Suara Akademik
Meningkatnya Kritik dari Kalangan Akademisi
Dalam beberapa bulan terakhir, muncul suara kritis dari para guru besar di berbagai universitas, termasuk dari fakultas kedokteran, terhadap kebijakan pendidikan tinggi yang dikeluarkan pemerintah. Kritik ini tidak hanya menyasar program digitalisasi, tetapi juga menyangkut isu-isu lain seperti:
- Kebijakan Kampus Merdeka yang dianggap belum matang implementasinya.
- Mekanisme rekrutmen dosen dan akreditasi yang dianggap semakin birokratis.
- Kekhawatiran terhadap komersialisasi pendidikan tinggi.
Para guru besar kedokteran, yang biasanya tidak banyak bersuara dalam wacana politik pendidikan, kini mulai lebih vokal. Hal ini disebabkan karena mereka melihat langsung dampak kebijakan terhadap mutu pendidikan, etika profesi, dan integritas akademik.

Nadiem: Kritik Adalah Bagian dari Demokrasi Akademik
Menanggapi suara para guru besar, Nadiem menanggapi dengan sikap terbuka. Ia menyebutkan bahwa kritik dari para akademisi merupakan bagian penting dalam ekosistem pendidikan tinggi yang sehat.
“Saya menghargai suara para guru besar. Itu tandanya kita masih punya demokrasi akademik. Tapi penting juga untuk terus berdialog, bukan hanya menyampaikan kritik, tapi juga solusi,” kata Nadiem dalam sebuah forum diskusi pendidikan.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan Kampus Merdeka didesain untuk meningkatkan fleksibilitas dan relevansi lulusan terhadap kebutuhan dunia kerja, termasuk dalam bidang kedokteran yang kini semakin membutuhkan pendekatan interdisipliner dan teknologi medis terkini.
Menggandeng Akademisi dalam Proses Reformasi
Kolaborasi Bukan Konfrontasi
Salah satu poin yang ditekankan Nadiem adalah perlunya kolaborasi antara Kemendikbudristek dan kalangan akademisi, termasuk para guru besar. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam melakukan transformasi pendidikan.
Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan, Nadiem mengundang para guru besar untuk berdialog langsung, memberi masukan konkret, bahkan terlibat dalam penyusunan kebijakan dan kurikulum.
“Kita harus bergerak bersama. Tidak ada satu pihak pun yang bisa mereformasi sistem pendidikan sendirian,” ujar Nadiem.
Rekomendasi dari Kalangan Akademisi
Beberapa rekomendasi yang sering muncul dari para guru besar dalam forum-forum akademik antara lain:
- Pentingnya penguatan literasi digital sebelum mendigitalisasi proses belajar.
- Penyesuaian kurikulum digital dengan konteks lokal dan budaya Indonesia.
- Peningkatan alokasi anggaran untuk riset, bukan hanya infrastruktur.
- Perlunya pengawasan dan evaluasi berkelanjutan terhadap kebijakan transformasi digital.
Masa Depan Digitalisasi Pendidikan
Menjawab Tantangan dan Ketimpangan
Transformasi digital adalah keniscayaan dalam dunia modern, termasuk dalam sektor pendidikan. Namun, tantangan besar tetap membayangi, mulai dari kesiapan infrastruktur, kompetensi guru, hingga kesenjangan akses antarwilayah.
Pemerintah dituntut untuk tidak hanya menyediakan perangkat seperti Chromebook, tetapi juga memastikan bahwa semua komponen pendukung—dari internet, pelatihan, hingga dukungan teknis—tersedia merata di seluruh Indonesia.
Digitalisasi yang Berkeadilan
Salah satu tantangan utama digitalisasi adalah menciptakan keadilan. Jangan sampai hanya sekolah-sekolah di perkotaan yang menikmati pembelajaran digital, sementara sekolah di pelosok tertinggal. Dalam hal ini, masukan dari para guru besar dan akademisi sangat penting agar kebijakan yang diambil tidak hanya “inovatif” tetapi juga “inklusif.”
Inovasi Tanpa Mengorbankan Nilai Akademik
Inovasi memang penting, tetapi tidak boleh mengabaikan nilai-nilai akademik seperti integritas, objektivitas, dan tanggung jawab ilmiah. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran para guru besar, terutama di fakultas kedokteran, yang selama ini dikenal sangat ketat terhadap etika profesi dan standar mutu pendidikan.
Penutup: Pendidikan Butuh Dialog dan Evaluasi
Pernyataan dan kebijakan Nadiem Makarim mengenai Chromebook dan digitalisasi pendidikan mencerminkan semangat perubahan. Namun, perubahan tersebut harus dibarengi dengan partisipasi aktif dari seluruh elemen pendidikan, termasuk para akademisi, guru besar, guru, siswa, hingga orang tua.
Suara kritis dari guru besar kedokteran dan kampus-kampus besar hendaknya tidak dilihat sebagai perlawanan, tetapi sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan pendidikan Indonesia. Dialog terbuka, partisipasi inklusif, dan evaluasi berkelanjutan adalah kunci untuk memastikan bahwa transformasi pendidikan tidak menjadi proyek sesaat, melainkan gerakan bersama menuju sistem pendidikan yang lebih baik, merata, dan relevan dengan tantangan zaman.